Aceh Singkil Darurat Konflik Buaya: Di Mana Regulasi

Aceh Singkil Darurat Konflik Buaya: Di Mana Regulasi
Foto Aceh Singkil Darurat Konflik Buaya: Di Mana Regulasi?

Newscyber.id l Aceh Singkil – Konflik manusia dan buaya di Aceh Singkil terus menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga. Meski insiden serangan buaya semakin sering terjadi, hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur mitigasi dan penanganan konflik ini. Kondisi tersebut memperlihatkan betapa perlunya peraturan daerah (Qanun) yang bisa menjadi landasan hukum dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar ini.

Seiring penyusutan habitat alami buaya akibat alih fungsi lahan dan perubahan ekosistem, satwa ini semakin sering memasuki wilayah permukiman. Sayangnya, penanganan dari pemerintah daerah masih bersifat darurat dan sementara, tanpa solusi jangka panjang. Sementara itu, regulasi yang ada, seperti Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, hanya mengatur pemanfaatan ruang secara umum tanpa menyentuh aspek mitigasi konflik satwa liar.

Kewenangan pemerintah daerah juga semakin terbatas setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024. Penanganan konflik satwa liar kini lebih banyak dibebankan pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang memiliki keterbatasan sumber daya. Hal ini membuat respons terhadap laporan warga sering kali lambat dan tidak optimal.

Langkah Mendesak yang Perlu Diambil
Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, berbagai pihak mendesak DPRK Aceh Singkil dan Pemerintah Kabupaten untuk segera mengambil langkah konkret. Beberapa solusi yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Menyusun dan Mengesahkan Qanun Mitigasi Konflik Satwa Liar
    Regulasi ini diperlukan untuk memberikan dasar hukum dalam penanganan konflik buaya secara komprehensif, termasuk tindakan pencegahan dan perlindungan bagi warga serta satwa liar.

  2. Mengalokasikan Anggaran Khusus
    Dana ini dapat digunakan untuk sosialisasi kepada masyarakat, pemasangan rambu peringatan di daerah rawan serangan, serta pelatihan penanganan darurat.

  3. Kolaborasi dengan BKSDA dan Akademisi
    Kajian ilmiah terkait populasi buaya dan penyebab meningkatnya konflik penting untuk menentukan langkah penanganan yang berbasis data dan berkelanjutan.

  4. Pembentukan Tim Khusus Mitigasi
    Tim ini bisa merespons cepat laporan warga terkait kemunculan buaya di area pemukiman, sehingga ancaman bisa segera ditangani sebelum jatuh korban.

Jangan Menunggu Korban Berikutnya
Tanpa langkah konkret, konflik buaya di Aceh Singkil berpotensi terus meningkat, mengancam keselamatan warga. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah akan terus menunggu hingga jatuh korban berikutnya? Atau akan segera merancang kebijakan jangka panjang yang dapat melindungi masyarakat?

Saatnya DPRK Aceh Singkil dan pemerintah daerah bertindak proaktif dengan merancang Qanun yang menjadi solusi atas permasalahan ini. Warga Aceh Singkil tidak membutuhkan janji atau keprihatinan semata—yang mereka butuhkan adalah perlindungan nyata dari ancaman yang semakin dekat.

(Ramlimanik)