Janji Baru Hutan Adat: Indonesia Komit Perkuat Hak Masyarakat Adat, Tapi Mendapat Skeptisisme
Pemerintah Indonesia kembali menjanjikan percepatan pengakuan dan perlindungan hutan adat, dengan target 1,4 juta hektare hingga 2029. Meski langkah ini dinilai penting untuk menjaga lingkungan dan memperkuat hak masyarakat adat, berbagai kelompok aktivis tetap skeptis.
NewsCyber.id – Jakarta, Pemerintah Indonesia kembali mengumumkan komitmen besar dalam pengakuan dan perlindungan hutan adat. Menurut siaran pers Kementerian Kehutanan, Indonesia berjanji untuk mengakui 1,4 juta hektare kawasan sebagai hutan adat dalam periode 2025–2029.
Pengumuman itu disampaikan dalam forum LCIPP COP30 di Belem, Brasil. Direktur Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kemenhut, Julmansyah, menegaskan bahwa penguatan hak tenurial masyarakat adat dan komunitas lokal (IPLCs) merupakan bagian dari strategi nasional saat menghadapi isu iklim.
-
Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Penetapan Hutan Adat pada Maret 2025 untuk mempercepat proses administratif.
-
Selain itu, Kemenhut tengah memperkuat kapasitas tenaga verifikator hutan adat melalui pelatihan, sebagai bagian dari upaya verifikasi usulan hutan adat.
-
Dalam pernyataan resmi, Kementerian Kehutanan menyebut bahwa hampir 400 ribu hektare hutan adat telah diakui secara hukum hingga Agustus 2025.
-
Target tambahan 70.000 hektare hutan adat ditargetkan untuk ditetapkan pada akhir tahun ini.
Menurut Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, pemberian hak atas hutan adat bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga memiliki dampak positif terhadap lingkungan. Ia mengklaim pengakuan hutan adat mampu menurunkan laju deforestasi sebesar 30-50%, berdasarkan data dari State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2024.
Kemenhut juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah “penjaga hutan terbaik” karena praktik tradisional mereka dalam menjaga ekosistem secara turun-temurun.
Meskipun janji ini mendapat sambutan resmi, sejumlah kelompok masyarakat adat dan LSM mempertanyakan keseriusan pemerintah. Kritik utama mengarah pada:
-
Reformasi Hukum yang Lambat
Aktivis menyebut bahwa tanpa perubahan undang-undang yang lebih mendasar — seperti RUU Hak Masyarakat Adat — pengakuan hutan adat hanya akan menjadi janji simbolis. -
Tumpang Tindih dengan Konsesi Ekstraktif
Banyak wilayah adat masih berada dalam kawasan konsesi tambang, perkebunan, atau proyek strategis nasional, sehingga konflik lahan masih terus terjadi. -
Target “Mudah” Dinilai Terbatas
Aktivis menyebut bahwa target 1,4 juta hektare terkesan rendah dan hanya mencakup areal yang mudah diakui (di luar kawasan konsesi besar). -
Kebutuhan Dana & Kapasitas Lokal
Penetapan hutan adat secara massal memerlukan verifikator terlatih dan anggaran. Meski Kemenhut telah mulai memperkuat jumlah verifikator, kritik tetap muncul soal efektivitas dan jangkauan verifikasi di seluruh wilayah adat.
Komitmen 1,4 juta hektare hutan adat menunjukkan niat pemerintah untuk merespons tuntutan masyarakat adat dan tantangan iklim. Namun, skeptisisme dari berbagai pihak menyoroti kesenjangan antara janji dan realitas di lapangan. Untuk memenuhi target tersebut, dibutuhkan konsistensi politik, reformasi hukum, serta dukungan teknis dan anggaran yang serius. Tanpa itu, pengakuan bisa berhenti di tataran simbolis.
(Ragil)




