Fakta di Balik Banjir Sumatera: Hutan “Digunduli” 3,6 Kali Luas Pulau Bali

Fakta terbaru banjir Sumatera 5 Desember 2025: deforestasi massif, perubahan tutupan hutan, dan lahan kritis menjadi penyebab utama banjir dan longsor. Simak analisis lengkap dampak ekologis dan rekomendasi pemulihan.

Fakta di Balik Banjir Sumatera: Hutan “Digunduli” 3,6 Kali Luas Pulau Bali
banjir Sumatera 5 Desember 2025: deforestasi massif, perubahan tutupan hutan, dan lahan kritis menjadi penyebab utama banjir dan longsor.
Aceh singkil

Aceh singkil

NewsCyber.id — Jakarta, 5 Desember 2025 

Bencana banjir dan longsor besar di kawasan Sumatera — khususnya provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) — mulai terkuak akar masalah ekologisnya. Data terbaru menunjukkan bahwa deforestasi/skema pengubahan kawasan hutan di hulu sungai (Daerah Aliran Sungai — DAS) memainkan peran penting dalam memperparah dampak banjir.

Data Defor­estasi dan Perubahan Tutupan Hutan

  • Berdasarkan paparan terbaru dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (Kemenhut), disebutkan bahwa secara nasional angka deforestasi menurun — dari 216.216 hektare pada 2024 menjadi 166.450 hektare per September 2025 (penurunan ~23,01%) 

  • Di antara tiga provinsi terdampak: deforestasi di Aceh turun 10,04%, di Sumut turun 13,98%, dan di Sumbar turun 14% dibanding periode tahun sebelumnya. 

  • Namun — secara paralel — terjadi perubahan besar tutupan lahan: area hutan banyak diubah menjadi non-hutan di banyak DAS yang terdampak banjir. Misalnya di Aceh terdapat perubahan tutupan lahan seluas 21.476 hektare (baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan), dalam kurun 2019–2024.

  • Organisasi lingkungan seperti Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan bahwa total deforestasi di Region Sumatera telah mencapai pengurangan hutan alam sekitar 2,1 juta hektare dalam 7 tahun terakhir — angka yang setara dengan "3,6 kali luas Pulau Bali.” 

Deforestasi + Alam: Perpaduan Bahaya

Menurut FWI dan sejumlah pakar lingkungan, kerusakan hutan di hulu DAS mengubah fungsi ekologis kawasan — yang seharusnya menyerap air, menahan erosi, dan menjaga stabilitas tanah. Saat hujan ekstrem atau badai tropis terjadi, kawasan yang dulunya lebat justru rentan longsor dan banjir bandang. 

Selain itu, jejak aktivitas penebangan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, tambang, atau penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sering disebut sebagai pemicu utama melemahnya ketahanan alam.

Paradoks: Klaim Deforestasi Turun, Tapi Lahan “Kritis” Bertambah

Pemerintah memang melaporkan penurunan angka deforestasi pada 2025. Namun data menunjukkan bahwa banyak perubahan lahan — dari hutan menjadi non-hutan — terjadi di lokasi sensitif (DAS), sehingga memperbesar risiko bencana.

Hutan alam di Region Sumatera kini menyusut drastis dibanding beberapa tahun lalu — mengindikasikan bahwa meski angka “deforestasi tahunan” menurun, akumulasi kerusakan selama bertahun-tahun telah menghasilkan lahan kritis yang luas. 

Dampak Bencana: Manusia dan Lingkungan

Banjir dan longsor akhir November–Desember 2025 di Sumatera telah berdampak parah — ratusan orang meninggal, ribuan kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur rusak. Banyak wilayah lumpuh akibat aliran sungai yang berubah drastis, tanah longsor, dan banjir bandang yang menghanyutkan rumah serta jalan. Beberapa analisis menunjukkan bahwa tanpa kerusakan hutan sebagai faktor pendukung — bencana mungkin tidak akan separah itu.

Aktivitas ekonomi di kawasan terdampak juga terganggu, dan ada tekanan besar bagi pemulihan lingkungan — reboisasi, rehabilitasi DAS, dan evaluasi izin kelola hutan kini makin mendesak.

(Ragil)