Banjir Sumatra Disebut “Bencana Buatan Manusia”, Publik Kecam Deforestasi Masif

Banjir Sumatra 2025 memicu gelombang kritik terhadap deforestasi dan kerusakan lingkungan. Publik dan aktivis menyebut bencana ini sebagai “bencana buatan manusia,” menuntut pemerintah melakukan reformasi tata kelola hutan dan penindakan tegas terhadap perusahaan yang merusak.

Banjir Sumatra Disebut “Bencana Buatan Manusia”, Publik Kecam Deforestasi Masif
Banjir Sumatra 2025 memicu gelombang kritik terhadap deforestasi dan kerusakan lingkungan.
Aceh singkil

Aceh singkil

NewsCyber.id — Jakarta, 2 Desember 2025

Gelombang kritik dan protes publik mewarnai Indonesia menyusul banjir dan longsor besar yang melanda Sumatra pada akhir November hingga awal Desember 2025. Banyak pihak—mulai dari masyarakat, aktivis lingkungan, hingga akademisi—menyebut bencana ini sebagai “bencana buatan manusia”, merujuk pada indikasi kuat deforestasi dan kerusakan hutan yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Dalam berbagai laporan dan investigasi lapangan, kerusakan ekosistem di hulu sungai Sumatra terlihat sangat parah. Ribuan hektare hutan mengalami alih fungsi tanpa pemulihan, sementara tambang dan perkebunan beroperasi dekat zona konservasi.

Aktivis Lingkungan: “Ini Akumulasi Kerusakan Puluhan Tahun”

Organisasi lingkungan menilai banjir kali ini bukan disebabkan oleh curah hujan ekstrem semata. “Ini akumulasi kerusakan selama bertahun-tahun. Ketika hutan hilang, tanah tidak mampu lagi menahan air,” ujar Direktur Ekologi Hijau Nusantara.

Ia menambahkan, pembukaan lahan baru dan praktik tambang yang tidak mengikuti analisis dampak lingkungan (AMDAL) menjadi dua faktor terbesar yang memicu longsor fatal di beberapa daerah perbukitan.

Masyarakat lokal yang terdampak pun menyuarakan hal serupa. Banyak warga menyebut area hutan yang sebelumnya menjadi penahan air kini telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau area pertambangan terbuka.

Dampak Bencana Memuncak

Banjir dan longsor Sumatra 2025 menyebabkan ribuan rumah rusak, jalan lintas terputus, dan fasilitas umum lumpuh. Lebih dari 800 orang meninggal dunia, sementara ratusan lainnya masih hilang.

Di beberapa wilayah, banjir tidak hanya merusak permukiman tetapi juga menyeret tanah dan material kayu dalam jumlah besar—indikasi kuat adanya aktivitas penebangan yang tidak terkendali.

Gelombang Protes di Media Sosial & Aksi Lapangan

Di media sosial, tagar bertema lingkungan menjadi trending secara nasional. Seruan keadilan ekologis, audit izin perusahaan, serta pemulihan hutan mencuat ke permukaan.
Aksi damai juga digelar di beberapa kota, termasuk Jakarta dan Padang, menuntut pemerintah memperketat pengawasan dan menghentikan izin baru di kawasan rentan.

“Banjir ini bukan hanya musibah, tetapi peringatan keras bahwa kita telah terlalu lama merusak alam,” ujar seorang orator aksi di Jakarta.

Pemerintah Diminta Bertindak Tegas

Tekanan publik membuat pemerintah pusat dan daerah bergerak cepat melakukan investigasi. Namun organisasi lingkungan mengingatkan agar penegakan hukum tidak hanya dilakukan sesaat di tengah sorotan publik.

Sejumlah pakar menilai momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi tata kelola hutan, termasuk penerapan teknologi pemantauan deforestasi, moratorium izin di zona kritis, dan revisi kebijakan reklamasi tambang.

(Ragil)