Polemik Empat Pulau: Antara Kedaulatan Wilayah dan Tuntutan Keadilan Sosial di Aceh

Newscyber.id l ACEH SINGKIL – Polemik pemindahan empat pulau dari wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memicu gelombang solidaritas politik dan akademik yang signifikan. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 25 April 2025.
Empat pulau yang dimaksud Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebelumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh Singkil. Namun, Kemendagri menetapkan keempatnya kini masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara. Keputusan ini dinilai sepihak oleh berbagai elemen di Aceh, memicu respons keras dari DPR RI, DPD RI, DPRA, hingga DPRK Aceh Singkil.
Pada 3 Juni 2025, gelombang penolakan terhadap kebijakan ini mengkristal dalam bentuk perjuangan kolektif para legislator. Ketua Konservasi Alam Aceh Singkil, Dio Fahmizan, menyampaikan bahwa langkah para wakil rakyat adalah refleksi dari perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan eksistensinya, bukan sekadar batas wilayah.
“Ini bukan hanya soal peta, tapi soal identitas, harga diri, dan ruang hidup masyarakat pesisir. Apa yang mereka perjuangkan adalah pembelaan terhadap martabat sosial rakyat Aceh,” tegas Dio.
Dalam pandangan filsafat politik, perjuangan ini mencerminkan bahwa politik belum sepenuhnya dikooptasi oleh kepentingan oligarki. Mengutip filsuf Michel Foucault, Dio menyatakan bahwa kekuasaan yang tidak dikritisi akan berubah menjadi alat pendisiplinan yang membekap dalam diam. Maka, sikap para legislator adalah bentuk pembangkangan terhadap normalisasi ketidakadilan struktural.
Namun demikian, Dio mengingatkan bahwa perjuangan ini tidak boleh berhenti pada simbol geografis. Pulau-pulau tersebut hanyalah puncak dari gunung es ketimpangan yang dialami Aceh secara struktural.
“Aceh adalah provinsi dengan otonomi khusus, namun justru mencatat tingkat pengangguran sarjana tertinggi di Sumatera. Per Februari 2025, 7,05% lulusan perguruan tinggi di Aceh masih menganggur. Ini bukan sekadar statistik, ini potret kegagalan negara memberi ruang hidup bagi generasi terdidik,” katanya.
Lebih lanjut, Dio menyoroti alienasi ganda yang dialami masyarakat Aceh: terasing dari pusat karena stigma sejarah, dan terasing dari tanah sendiri karena pembangunan yang tak berpihak pada rakyat lokal.
(Ramli manik)