HGU di Aceh Singkil Diduga Langgar Aturan, Plasma Tak Kunjung Terwujud

HGU di Aceh Singkil Diduga Langgar Aturan, Plasma Tak Kunjung Terwujud
Keterangan Foto: Boas Tumangger, N. Lie, dan Yakarim Munir, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) LMM RI, menyuarakan pentingnya penegakan aturan terkait kewajiban plasma bagi perusahaan perkebunan di Aceh Singkil.

Newscyber.id l Singkil, 6 Januari 2025. Kabupaten Aceh Singkil, wilayah paling barat di Provinsi Aceh, dikenal dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit. Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun, hampir semua Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah tersebut diduga tidak memiliki plasma. Padahal, kewajiban menyediakan plasma diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Plasma, sesuai Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014, menjadi kewajiban bagi perusahaan perkebunan. Mereka diwajibkan menjalin kemitraan usaha dengan masyarakat dan memfasilitasi pembangunan kebun plasma dalam kurun waktu tiga tahun sejak HGU diberikan. Aturan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di mana pasal 58 menyatakan perusahaan wajib menyediakan kebun plasma minimal 20% dari total luas kebun yang mereka miliki.

Kewajiban ini juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021. Plasma sendiri bertujuan membantu masyarakat sekitar agar bisa berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit.

Namun, realitas di Aceh Singkil menggambarkan hal yang berbeda. Banyak masyarakat mengandalkan sisa brondolan kelapa sawit di sekitar HGU untuk bertahan hidup. Ironisnya, tindakan ini seringkali berujung pada konflik dengan karyawan atau pihak keamanan perusahaan. "Kalau saja plasma dibangun dengan baik, persoalan ini tidak akan terjadi," ujar Boas Tumangger, salah satu tokoh masyarakat setempat.

Boas menegaskan pentingnya perhatian pemerintah pusat terhadap masalah ini. "Kami meminta Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN untuk mengirim tim khusus ke Aceh Singkil agar menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini," tambahnya.

Senada dengan itu, Yakarim Munir mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat yang hidup di tengah kemakmuran perkebunan tanpa mendapatkan manfaat nyata. "Jika ini dibiarkan, pemerintah seolah menutup mata terhadap kemiskinan masyarakat di Aceh Singkil," ujarnya.

N. Lie, tokoh lain, mengkritik keras tindakan perusahaan yang lebih memprioritaskan keamanan HGU dibandingkan kesejahteraan masyarakat. "Jangan hanya mengejar orang yang mengambil brondolan, sementara kewajiban plasma tidak dijalankan," tegasnya.

Media ini terus menggali informasi dan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan apakah HGU di Aceh Singkil telah memenuhi kewajibannya sesuai aturan yang berlaku. Di sisi lain, masyarakat berharap pemerintah daerah dan wakil rakyat lebih proaktif dalam mengatasi masalah ini.

Apakah dugaan HGU tanpa plasma di Aceh Singkil benar adanya? Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat di sekitar perkebunan.

(Ramli Manik)