Polemik Lahan Sekolah Rakyat Aceh Singkil: Kritik Sah, Tapi Masa Depan Anak Bangsa Jangan Jadi Korban

Newscyber.id l Aceh Singkil – Dalam negara demokrasi yang sehat, kritik adalah nafas akuntabilitas. Namun, kritik yang konstruktif menuntut kedewasaan: ia harus lahir bersama konteks, data, dan niat untuk membangun. Isu pengadaan lahan Sekolah Rakyat di Aceh Singkil menjadi contoh nyata bagaimana kebutuhan kebijakan dan sentimen publik sering kali berkelindan dalam debat yang panjang.
Pembangunan Sekolah Rakyat bukan proyek seremonial. Program ini digagas untuk menjawab akar ketimpangan pendidikan yang selama ini melilit kawasan pinggiran republik. Sekolah Rakyat dirancang menjadi rumah bagi anak-anak keluarga sangat miskin yang rentan putus sekolah. Tidak sekadar ruang belajar, sekolah ini menyediakan pendidikan berasrama lengkap dengan makan, pembinaan moral, hingga keterampilan hidup.
Esensi program ini jelas: membuka akses pendidikan gratis bagi mereka yang tak mampu. Karena itu, ketika publik mempertanyakan pengadaan lahannya, semestinya pertanyaan itu tidak semata berkutat pada “siapa menjual kepada siapa”, melainkan lebih jauh: apakah langkah ini solusi nyata bagi masalah sosial yang tak kunjung selesai?
Benarkah ada indikasi korupsi?
Sejumlah pihak menyoroti fakta bahwa lahan tersebut terkait keluarga kepala daerah. Namun, pemerintah daerah menyebut pengadaan sudah melalui prosedur:
Lokasi dan luas lahan memenuhi syarat teknis Kementerian Sosial.
Harga ditetapkan berdasarkan kajian KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik), bukan penunjukan langsung tanpa appraisal.
Pembelian dianggarkan melalui APBK dengan persetujuan legislatif.
Praktik semacam ini dalam hukum administrasi tidak otomatis dikategorikan sebagai maladministrasi, apalagi korupsi. Sebab, regulasi membolehkan pembelian aset asalkan prosedur penilaian dan persetujuan dijalankan.
Kritik tetap sah. Kecurigaan publik adalah bagian dari mekanisme pengawasan sosial. Namun, jika kritik tidak dilandasi bukti, maka yang tumbuh bukanlah kontrol, melainkan sinisme. Jika setiap kebijakan publik selalu dicurigai dengan prasangka, yang runtuh bukan korupsi, melainkan harapan.
Menurut hemat banyak pihak, Sekolah Rakyat bukan sekadar kebijakan, tapi jawaban atas kebutuhan mendasar. Yang dibeli pemerintah bukan privilese keluarga elite, melainkan lahan bagi anak-anak rakyat yang selama ini terpinggirkan dari hak pendidikannya.
Sebagaimana diatur Pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945:
> “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Karena itu, masyarakat Aceh Singkil diimbau menempatkan kritik dalam proporsi yang sehat. Fokus seharusnya diarahkan pada kualitas bangunan, kelayakan fasilitas, transparansi anggaran, dan keberlanjutan program, bukan meruntuhkan inisiatif sejak dalam perencanaan hanya karena relasi personal yang kebetulan terjadi.
Di tengah derasnya prasangka, jangan lupakan satu hal: masa depan anak-anak Aceh Singkil lebih penting daripada ego politik. Kritik boleh, sinisme jangan. Karena pendidikan adalah hak mereka yang tak boleh diganggu hanya karena sentimen terhadap nama dan hubungan darah. (Ramli manik)